TIDAK sedikit orang tua meresahkan kemampuan
anak-anaknya dalam memasuki arena kompetitif sekarang ini. Ada yang
wajar dan memahami anak-anaknya, sehingga mereka dapat menumbuhkan
motivasi belajar yang kuat dalam diri anak. Ada pula yang terlalu
berlebihan dan tidak wajar, sehingga keinginan orang tua justru
menghancurkan kreativitas anaknya sendiri.
Memang keresahan orang tua yang demikian cukup beralasan. Persaingan
hidup di segala bidang, mau tidak mau akan menyisihkan orang-orang yang
tidak memiliki kemampuan dan keterampilan memadai. Sementara masih
banyak orang mengira bahwa kreativitas merupakan bakat alamiah yang
dibawa seseorang sejak lahir.
Anggapan yang demikian biasanya akan membawa pengaruh terhadap
pandangan orang tua terhadap anak itu sendiri. Tetapi apakah memang
demikian? Tentu kita akan memperoleh pelajaran berharga ketika orang tua
membaca bagaimana kisah hidup ahli fisika Albert Einstein. Einstein
ketika kecil adalah anak yang bodoh. Bahkan gurunya saja tidak akan
menduga bahwa kelak setelah dewasa, Einstein akan mampu “menciptakan”
teori relativitasnya. “Tentu itu mustahil,” barangkali demikian ucapnya.
Namun itulah yang terjadi. Karena didorong oleh kesungguhan mau mencoba
dan mencoba akhirnya Einstein benar-benar menjadi orang pandai dan
terkenal di dunia.
“Anak bodoh itu sekarang telah menjadi orang terpandai,” demikian barangkali ucapan teman-teman Einstein.
Sekarang mari kita mencermati anak-anak yang lahir ke dunia ini.
Ternyata ada banyak keunikan dalam diri mereka. Ada sementara bayi yang
mudah menangis, ada pula yang jarang menangis. Begitu lucunya. Eit…
tetapi tunggu sebentar, tidakkah Anda merenung sebentar, siapa tahu di
antara mereka kelak ada yang menjadi presiden, dokter, ulama, atau
bahkan tokoh kaliber dunia. Misalnya seperti Imam al-Ghazali yang
Hujjatul Islam, Ibnu Rusyd yang pandai dalam ilmu kedokteran dan fiqih,
serta lain-lainnya.
Ketika anak-anak itu tumbuh dan berkembang, ada yang membuka diri
terhadap sentuhan orang lain dan ada pula yang kurang menyukai
berdekatan dengan orang baru. Ada yang cerdas, ada pula yang biasa saja,
bahkan terbelakang. Ada yang sangat kritis, dan ada yang rasa ingin
tahunya biasa saja.
Keunikan-keunikan itu adalah cikal bakal kreativitas dan keunggulan
pribadi mereka. Kita berharap mereka tumbuh dan berkembang menjadi
pribadi-pribadi yang unggul. Dan selanjutnya tugas orang tua adalah
menghargai serta menumbuhkan kecenderungan-kecenderungan mereka itu.
Orang tua yang sadar akan tanggung jawabnya, dapat mengembangkan
kecenderungan-kecenderungan mereka dengan menciptakan kondisi yang mampu
merangsang berkembangnya semua potensi yang dimiliki anak. Orang tua
dapat pula memberikan penjelasan yang mudah dipahami dan memberikan
kesempatan memadai untuk berlatih dalam menumbuhkan dan meningkatkan
kemampuan kreatifnya. Selebihnya dengan memberi informasi
sebanyak-banyaknya yang dilengkapi dengan motivasi agar informasi dan
wawasan yang telah mengkristal dalam diri anak itu, mendorong diri anak
menjadi suatu kebutuhan untuk dapat menyelesaikan kesulitan atau
memperoleh suatu hal yang baru. Dengan menghargai dan menumbuhkan
kecenderungan-kecenderungan tersebut, insya Allah, orang tua kelak akan
mendapati anaknya mampu berfikir kreatif.
Dalam sejarah kita catat suatu nama sangat populer, yaitu Zaid bin
Tsabit r.a. yang dikenal sebagai pencatat wahyu Ilahi yang diterima
Nabiyullah Muhamamad Shalallaahu “Alaihi Wasallam. Nabi melihat
bahwa diri Zaid adalah seseorang yang sangat berbakat atau mempunyai
kecenderungan dalam menguasai bahasa. Maka, Nabiyullah mendorong Zaid
mempelajari bahasa Yahudi dan bahasa Suryani. Selebihnya mari kita simak
cuplikan hadits berikut.
Diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan Ibnu Asakir dari Zaid bin Tsabit, dia
berkata: “Ketika Nabiyullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam sampai di
Madinah, orang-orang menemui beliau, ‘Ya, Rasulullah ini adalah anak
dari Bani Najar. Dia telah membaca dan menghafalkan ayat-ayat yang
diturunkan kepadamu sebanyak 17 surat.’ Maka aku pun membacakannya, dan
ini membuat Rasulullah takjub dengan kemampuanku, lalu beliau berkata,
‘Hai, Zaid pelajarilah kitab-kitab Yahudi karena sesungguhnya aku tidak
mempercayai sikap mereka terhadap kitabku.’ Aku pun mempelajarinya
selama lima belas hari hingga aku menguasai bahasa kaum Yahudi. Maka aku
pun menjadi penulis surat yang beliau bacakan untuk dikirim pada kaum
Yahudi dan membacakan apa yang mereka tulis untuk beliau.”
Diriwayatkan pula oleh Abu Ya’la, Ibnu ‘Asakir dan Ibnu Abu Daud dari
Zaid bin Tsabit yang mengatakan bahwa suatu hari Rasulullah bertanya
kepadaku, “Apakah engkau menguasai bahasa Suryani?” Aku jawab, “Tidak.”
Beliau lalu memintaku untuk mempelajarinya. Kemudian aku pun dapat
menguasai bahasa Suryani dalam tujuh belas hari.”
Ada pula kisah mengenai diri Imam Bukhari. Pada awalnya, pengarang
kitab “Shahih” ini, mempelajari ilmu fikih. Karena nampaknya dalam diri
Imam Bukhari ada bakat-bakat lain yang bisa dikembangkan, maka gurunya,
Muhammad bin Hasan berkata kepadanya, “pergi dan pelajarilah ilmu-ilmu
hadits.”
Maka Imam Bukahri pun mengikuti petunjuk Muhammad bin Hasan dengan
mempelajari hadits. Dengan kesungguhan dan bakat yang dimilikinya,
sejarah dan peradaban Islam, kelak mencatat bahwa beliau adalah sebagai
orang terdepan dalam ilmu hadits. Beliau adalah imamnya para ahli
hadits. Semoga Allah mencatat segala amalnya, sebagai ladang amal shaleh
yang dapat dipetik di yaumil kiamah. Amin ya Rabbal ‘alamin.
Ada banyak kisah yang perlu kita tulis. Ada banyak pelajaran yang
perlu kita renungkan dari kisah-kisah mereka. Ada pula sisa air mata
ketika mengenang perjuangan mereka dalam menegakkan sendi-sendi ajaran
Islam. Kita benar-benar merindukan orang-orang seperti mereka, yang
dengan perjuangannya mereka mampu mengharumkan nama Islam. Laa haula walaa quwwata illa billahil ‘aliyil ‘adzim. Semoga Engkau memberikan kekuatan dan kesempatan kepada kami dalam menegakkan agama-Mu dan meneladani perjuangan mereka.
Untuk itu, ya Allah yang Rabbi, janganlah Engkau memanggil diri kami
terlebih dahulu ke dalam pangkuan-Mu sebelum kami mampu memberikan yang
terbaik buat Islam dan mempunyai bekal yang cukup untuk kembali
kepadaMu. Aamiin…*/Imam Musbikin, dikutip dari bukunya Kudidik Anakku dengan Bahagia.
0 komentar:
Posting Komentar