Tarbiyah bagi Istri Membentuk Keluarga Sakinah (1)



ISTRI adalah rabbatul bait (pembina rumah tangga). Pembinaan bagi para istri amat diperlukan untuk menjadikannya sosok ideal yang layak diteladani. Pada para ibu inilah, banyak beban digantungkan, sehingga digambarkan surga terletak di bawah telapak kakinya.
Untuk menggapai sifat ideal itu pun diperlukan perhatian yang kontinu. Proses tarbiyah terhadap para istri akan membantu mencapai sifat-sifat keutamaan bagi mereka. Seperti halnya tarbiyah untuk para suami, tarbiyah untuk para istri pun mempunyai beberapa hal spesifik berikut.
a. Peningkatan Kualitas Diri
Sebagaimana para suami, para istri juga perlu senantiasa meningkatkan kualitas dirinya. Arahan Syaikh Hasan Al-Banna berlaku juga bagi para istri. Oleh karena itu, berbagai wasilah (sarana) untuk meningkatkan kualitas diri ini harus senantiasa diusahakan.
Istri harus menguasai berbagai ilmu dasar, yakni ilmu-ilmu agama untuk membaguskan dien anak-anaknya. Apa yang bisa diajarkan oleh si ibu jika ia tidak memiliki ilmunya? Ia juga harus menguasai ilmu-ilmu yang mendukung semua itu, yakni ilmu pendidikan anak, psikologi dan perkembangan anak, serta ilmu tentang gizi dan kesehatan secara praktis. Semua itu kelak menjadi tuntutan keseharian yang sulit untuk dipersiapkan secara mendadak.
Aisyah r.a. adalah salah seorang figur teladan bagi para wanita. Keteladanan dalam masalah ilmu telah dicontohkan oleh beliau. Urwah bin Zubair pernah berkata, “Aku tidak menyaksikan orang yang lebih memahami tentang kandungan Al-Quran, kewajiban-kewajibannya, halal haram, puisi, pepatah Arab, dan ilmu nasab, kecuali Aisyah. Aku tidak menyaksikan orang yang lebih paham tentang masalah fikih, kedokteran, dan puisi, kecuali Aisyah.”
Pendapat Urwah tersebut diperkuat oleh Ibnu Abdul Bar, “Aisyah adalah satu-satunya sahabat yang menguasai tiga ilmu di zamannya: fikih, kedokteran, dan puisi.” Atha’ bin Abi Rubah dan Miqdad bin Al-Aswad memiliki pendapat serupa.
Hendaknya para istri Muslimah juga memperhatikan peningkatan kualitas keilmuan yang diperlukan bagi kemaslahatan diri, keluarga, masyarakat, dan dakwah Islam secara umum. Jika kita perhatikan dari contoh figur Aisyah r.a., beliau menguasai fikih, kedokteran, dan puisi.
Bagi para istri Muslimah, fikih amat diperlukan penguasaannya, terutama yang berkenaan dengan masalah-masalah praktis kerumahtanggaan. Ilmu kesehatan atau kedokteran diperlukan karena ibu harus mengetahui dasar-dasar pengobatan praktis, untuk melakukan pertolongan pertama tatkala anggota keluarga tertimpa sakit atau musibah.
Demikian juga dengan dasar-dasar pemahaman tentang obat-obatan agar tak salah dalam menggunakan obat sendiri. Sedangkan ilmu tentang puisi, mungkin saja di zaman sekarang bisa berkembang menjadi bentuk seni yang lain, seperti nasyid islami. Bagi ibu, hal itu akan menjadi satu metode untuk mendidik dan mengajar anak-anaknya. Tentu akan sangat menarik bagi anak, apabila mereka mendapatkan metode pengajaran yang menarik dan tidak membosankan, lantaran ada selingan nasyid atau puisi.
Tarbiyah bagi para istri hendaklah memperhatikan aspek pengembangan keilmuan dan intelektualitas. Sekalipun sebagian besar wanita Muslimah tinggal di dalam rumah, bukan berarti identik dengan jumud dan bodoh. Bahkan, mereka bisa tetap pandai dan terasah daya nalarnya dengan berbagai sarana pengajaran yang memungkinkan dilakukan, sembari melakukan pekerjaan rumah tangga.
b. Pembinaan Perasaan Keibuan
Peran sebagai seorang ibu banyak sekali. Ibu adalah contoh teladan bagi anak-anak, khususnya anak-anak perempuan. Ia tempat bertanya berbagai permasalahan, baik menyangkut fiqhun nisa’, psikologi, sosial, maupun berbagai masalah lain yang dihadapi anak. Oleh karena itulah, seorang ibu perlu memupuk rasa keibuan, hangatnya kasih sayang, lembutnya jawaban, dan santun dalam pergaulan. Ia harus cerdas menjawab setiap pertanyaan dari anak agar jawaban itu sekaligus sebagai penanaman nilai, bukan sekadar penyelesaian masalah sesaat.
c. Pembinaan Kemauan dan Kemampuan Melakukan Tarbiyatul Aulad
Sebagai ibu, ia memiliki kewajiban menarbiyah anak-anaknya dengan pembinaan yang islami. Apabila kecenderungan ‘menjadi’ seorang ibu belum muncul, pembinaan anak-anaknya pun akan cenderung tertelantarkan. Dengan kelembutan, kasih sayang, dan penuh perhatian, ia mendidik anak-anak untuk menjadi generasi penerus yang bisa diharapkan meneruskan perjuangan para pendahulu mereka.
Sebagai ibu, ia tidak layak memanjakan anak-anaknya dengan memenuhi semua keinginan mereka. Hal yang perlu dilakukan adalah memberikan bekal pendidikan yang akan menumbuhkan berbagai potensi positif mereka. Para sahabiah telah memberikan keteladanan bagaimana mereka mencetak generasi berkualitas.
Adalah seorang sahabiah bernama Afra’ r.a. Ia mendidik kedua anaknya yang masih muda belia, Auf dan Mu’adz, untuk mencintai Islam dan siap membela kebenaran. Tatkala terjadi Perang Badar antara kaum Muslimin melawan orang-orang kafir Quraisy, berangkatlah keduanya bersama tentara kaum Muslimin. Abdurrahman bin Auf memuji kedua anak muda belia mi, lantaran keberanian mereka maju ke medan pertempuran serta memilih lawan yang tak tanggung-tanggung; Abu Jahal bin Hisyam, gembong kaum kafir.
Demikian pula Khansa’ r.a. yang mempersembahkan empat putranya untuk menjadi pembela Islam. Ia didik keempat anaknva dengan tekun dan penuh curahan perhatian, hingga tumbuhlah mereka menjadi pemuda gagah perkasa yang siap membela kebenaran. Suatu saat, Khansa’ r.a. berwasiat kepada anak-anaknya,
Wahai Permata Hatiku, dengan penuh kesadaran dan ketaatan kalian masuk Islam, dan atas pilihan sendiri pula kalian berhijrah. Apabila kalian melihat perang berkecamuk, bergegaslah kalian menghambur ke tengah medan laga dan jadilah kalian orang yang berada pada barisan pertama. Niscaya kalian akan mendapat keberuntungan dan kemuliaan di hari yang kekal dan abadi nanti.
Kisah Nusaibah binti Ka’ab r.a. (Ummu `Amarah) juga tak kalah mengharukan. Dalam satu pertempuran, putra Nusaibah berkata, “Ketika darah terus mengucur dari lenganku maka Rasulullah bersabda, ‘Balutlah lukamu!’ Ibuku segera menghampiriku sambil membawa kain pembalut pada pinggangnya yang memang sudah dipersiapkan untuk merawat pasukan yang terluka. Ia lalu membalut lukaku dan Rasulullah berdiri melihat kepadaku. Setelah selesai ibuku berkata, ‘Bangkitlah wahai Putraku, dan perangilah orang orang durjana itu!’ Melihat adegan ibu dan anak itu, Rasulullah Shalallaahu ‘Alahi Wasallam bersabda, ‘Adakah orang yang mampu melakukan apa yang engkau lakukan, wahai Ummu `Amarah?’”
Berbagai fragmen dalam sejarah kehidupan Rasulullah Shalallaahu ‘Alahi Wasallam dan para sahabiah tersebut memberikan gambaran bagaimana ibu-ibu waktu itu melakukan tarbiyatul aulad. Hasil pendidikan anak yang mereka lakukan sungguh luar biasa. Telah tercetak kader-kader tangguh yang siap membela dan memperjuangkan kebenaran; bukan generasi ecstasy; bukan pula generasi teler yang selalu hidup di alam khayalan. Selayaknyalah kaum Muslimah memperdalam berbagai kisi-kisi tarbiyatul aulad agar anak-anak mereka mampu menjadi generasi dambaan umat.*/Cahyadi Takariawan, dari bukunya Di Jalan Dakwah Kugapai Sakinah.

0 komentar:

Posting Komentar