MERASA benar kerap kali membuat kita kehilangan
kendali atas emosi dan perilaku buruk. Bahkan sekalipun lisan ini kerap
meluncurkan kata-kata buruk, diri tetap merasa baik-baik saja, sebab
sistem kesadaran kita telah menyatakan, bahwa yang dilakukan, seluruhnya
benar.
Perasaan semacam inilah yang membuat pendidikan orangtua terhadap anak tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Perasaan itulah yang menjadikan komunikasi pasangan dalam rumah
tangga lebih sering memicu perdebatan daripada saling memahami, sehingga
kian hari kasih sayang terus tergerus, yang pada akhirnya, emosi terus
membara.
Semua itu membuat seseorang lupa bahwa tujuan baik, tak bisa dicapai
dengan cara yang tidak baik. Termasuk ketika ingin memiliki anak yang
sholeh, tetapi setiap anak tidak sesuai harapan, lisan langsung
menembakkan kata-kata buruk.
Dorothi Law Nolte mengatakan bahwa anak yang dibesarkan dengan caci
maki akan tumbuh menjadi pribadi rendah diri. Anak yang dibesarkan
dengan cercaan dan hinaan, akan tumbuh menjadi sosok yang jiwanya kerdil
dan menjadi pribadi yang suka menyesali diri.
Oleh karena itu, kendalikan diri, jangan merasa benar, cobalah
introspeksi diri. Jangan sampai maksud baik diwujudkan dengan cara yang
salah, sehingga tanpa sadar justru kita sendiri yang membentuk alam
bawah sadar anak sedemikian buruk.
Sekarang coba kita cek dalam hati sendiri, apakah mau kita dicaci
maki? Andai diri kembali menjadi seperti anak-anak, apakah rela kita
dicaci maki. Mungkin akan muncul pertanyaan dalam hati, jika orangtuaku
sering mencaciku,untuk apa mereka melahirkan dan memelihara diriku.
Di sinilah kita dapat mengamalkan apa yang Allah sebutkan sebagai
salah satu sifat insan bertaqwa, yakni memaafkan kesalahan manusia,
siapapun itu, terlebih buah hati sendiri.
Ada kisah menarik yang dialami oleh Ustadz Haikal Hasan, dimana
perilaku buruk dirinya ketika masih remaja ternyata disikapi dengan
sangat bijaksana oleh sang ibu.
Ketika itu, sepulang sekolah, ia lemparkan tas sekolahnya, kemudian
bergegas keluar main bola dari siang hingga petang. Pulang dalam keadaan
basah kuyup, baju penuh lumpur. Dan, dirinya bersama teman-temannya
pulang dengan cara mengendap. Temannya mendapat perlakuan hampir sama
dari ibunya, dimarahi dan dipukuli.
Menyaksikan itu, ustadz yang dikenal dengan panggilan babeh itu merasa gugup dan gemetar untuk segera sampai di rumah.
Tetapi, luar biasa. Ustadz Haikal Hasan mendapati ibunya menyambut
dengan penuh kasih sayang, tanpa ada kata marah, raut benci dan
sebagainya. Malah menyuruhnya segera mandi dan telah disediakan air
hangat. Kejadian itu membekas betul dalam benak ustadz yang dikenal
humoris itu, hingga akhirnya beliau menjadi terdorong belajar dan
berbakti kepada orangtua.
Didik Anak Bisa Berpikir
Mohamed A. Khalfan dalam bukunya Anakku Bahagia Anakku Sukses menjabarkan bahwa setiap anak mesti dididik untuk bisa berpikir.
“Ajarlah anak unutk bisa berpikir. Sekali kemampuan berpiir itu
dikuasai, dia akan berbuat lebih banyak lagi daripada sekadar berpikir.”
Nampaknya hal itulah yang terjadi pada Ustadz Haikal Hasan, dimana
perilaku sang ibu yang berbalik 180 derajat dari apa yang
dibayangkannya, mendorongnya sadar, mengerti, dan yakin bahwa
orangtuanya benar-benar mencintai dan berharap dirinya tumbuh menjadi
pribadi bertanggungjawab dan bermanfaat bagi umat.
Jika merujuk dalam Al-Qur’an, metode mendidik anak bisa berpikir bisa
dilihat dari cara para Nabi berkomunikasi dengan anak-anaknya. Nabi
Ibrahim mengajak dialog anaknya. Nabi Ya’kub juga mengajak dialog
anak-anaknya. Bahkan Luqman Al-Hakim mengajak sang anak tak sekedar
dialog, tetapi terjun ke masyarakat kemudian menghadirkan banyak hikmah
secara langsung kepada anaknya.
Dengan kata lain, memang tidak diperlukan ungkapan penuh kemarahan
dan kekesalan ditumpahkan oleh orang dewasa atau orangtua kepada
anak-anaknya. Berkatalah yang lembut, biasakan berdialog, dan yang
terpenting pahami tingkatan psikologi anak, sehingga kita tidak
mengharapkan, kecuali batasan yang sanggup dicapai anak kita sendiri.
Dalam hal ini, Mohamed A. Kholfan kembali menegaskan, “Seorang anak
yang tidak terlatih untuk berpikir – dan karenanya ia akan gagal dalam
melakukan penalaran – biasanya akan melibatkan emosinya untuk menutupi
kekurangannya.”
Tidakkah hari ini kita bertemu dengan
sosok orang yang emosinya lebih didahulukan daripada akalnya? Boleh
jadi, orang yang demikian besar dalam cara didikan yang keliru, sehingga
kala tumbuh dewasa, ia gagal menjadi pribadi yang mengedepankan akal di
atas emosinya.
Dengan demikian, mari bersabar, mari lebih teliti, jangan mudah untuk mengumbar amarah, sekalipun terhadap anak-anak sendiri.
Sebab cara demikian selain tidak diajarkan oleh Islam juga akan
membawa dampak negatif yang serius bagi pertumbuhan kepribadian
anak-anak kita.
Jadilah pribadi yang kuat, orangtua yang kuat dalam beragam hal,
terutama dalam mendidik anak-anak, membina keluarga, yang dianjurkan
dengan sangat oleh Nabi Muhammad ﷺ.
“Orang yang kuat tidaklah yang kuat dalam bergulat, namun mereka yang bisa mengendalikan dirinya ketika marah.” (HR. Malik).*
Rep: Imam Nawawi
Editor: Cholis Akbar
Sumber Hidayatullah.com
0 komentar:
Posting Komentar