PARA
sahabat dan salafus shalih sangat serius di dalam memilih guru yang
baik bagi anak-anak mereka. Dalam hal ini mereka memberikan perhatian
yang sangar besar. Sebab, guru adalah cermin yang dilihat oleh anak
sehingga akan membekas di dalam jiwa dan pikiran mereka. Guru juga
sumber pengambilan ilmu.
Karena perhatian kaum salaf akan hal itu, sampai-sampai mereka
memberikan nasihat kepada anak-anak mereka agar mengambil adab sebelum
mengambil ilmu. Pembinaan adab berkenaan dengan adab terhadap para
ulama. Seandainya harus menempuh perjalanan jauh untuk menemui seorang
guru yang shalih, maka ini pun tetap dilakukan dengan suka hati tanpa
merasa berat.
Sudah maklum bahwa menempuh perjalanan itu menuntut beban keuangan bagi
kedua orang tua. Akan tetapi demi membina keilmuan anak, hal itu menjadi
terasa ringan bagi mereka. Oleh karena itu Ibnu Sina dalam kitabnya,
As-Siyasah, mengatakan, “Seyogyanya seorang anak itu dididik oleh
seorang guru yang mempunyai kecerdasan dan agama, piawai dalam membina
akhlak, cakap dalam mengatur anak; jauh dari sifat ringan tangan dan
dengki, dan tidak kasar di hadapan muridnya. Ia harus seorang yang
cerdik dan mempunyai kehormatan, kebersihan dan kesucian.
Oleh karena itu, para pemimpin kaum muslimin berupaya mencarikan guru
yang shalih buat anak-anak mereka. Abu Bakr bin Jabir, pembantu Abu
Dawud, mengatakan, “Pernah suatu ketika kami berada di Baghdad, seusai
menunaikan shalat Maghrib, tiba-tiba ada seseorang yang mengetuk pintu.
Aku pun kemudian membukanya, dann ternyata ia adalah salah seorang
pembantu lain yang berkata, “Gubernur Abu Ahmad Al-Muwaffiq meminta izin
masuk untuk bertemu dengan Abu Dawud.” Aku pun segera menemui Abu Dawud
dan aku beritahukan perihal tersebut. Beliau mengizinkannya, lalu sang
gubernur pun duduk.
Abu Dawud menatapnya seraya bertanya, “Tidak biasanya seorang gubernur
datang dalam waktu-waktu seperti ini. Ada perlu apa gerangan?” Gubernur
berkata, “Ada tiga hal.” “Apa ketiga hal tersebut?” tanya Abu Dawud.
Gubernur itu menjawab, “Engkau pindah ke kota Bashrah dan engkau jadikan
ia sebagai pusat pendidikan yang bisa dituju oleh para pencari ilmu
dari segala penjuru.”
Abu Dawud berkata, “Ini yang pertama, lalu apa yang kedua?” Gubernur
menjawab, “Engkau ajarkan kepada anak-anakku hadits-hadits yang telah
ditulis dalam kitab As-Sunan.” Abu Dawud berkata, “Ya. Lalu apa yang
ketiganya?” Gubernur menjawab, “Sendirikan anak-anakku dari yang lain,
karena anak-anak para pemimpin tidak bisa duduk bersama anak-anak rakyat
biasa.”
Abu Dawud menjawab, “Yang ketiga ini tidak bisa saya kabulkan. Dalam hal
ilmu, manusia itu, baik bangsawan maupun orang biasa, semuanya sama.”
Jabir selanjutnya menceritakan, “Sesudah itu akhirnya anak-anak gubernur
itu turut menghadiri majelis pendidikan Abu Dawud. Mereka duduk bersama
dan mendengarkan hadits bersama-sama.”
Diriwayatkan bahwa Utbah bin Abi Sufyan pernah berkata kepada guru yang
mengajar anaknya, “Wahai Abdus-Shamad, hendaklah yang pertama-tama
engkau lakukan adalah memperbaiki dirimu, karena sesungguhnya mata
mereka tergantung kepada matamu. Kebaikan menurut mereka adalah apa yang
engkau pandang baik, dan keburukan menurut mereka adalah sesuatu yang
engkau pandang buruk. Ajarkan kepada mereka Kitab Allah, namun jangan
engkau paksakan sehingga mereka akan menjadi jenuh. Namun jangan pula
engkau abaikan darinya sehingga mereka akan meninggalkannya. Ajarkan
syair yang paling sopan dan hadits yang paling mulia. Jangan engkau
keluarkan mereka dari satu ilmu menuju ilmu lainnya sampai mereka
benar-benar menguasainya. Terlalu banyak mendengarkan berbagai
pembicaraan itu bisa merusak pemahaman. Janganlah engkau ancam mereka
denganku dan didiklah mereka tanpa melibatkan namaku. Jadilah engkau
bagi mereka, layaknya seorang tabib ramah yang tidak akan memberi obat
kecuali terlebih dahulu sudah mengetahui jenis penyakitnya. Kisahkan
kepada mereka sejarah raja-raja dan jauhkan mereka dari pembicaraan
mengenai wanita. Jangan sekali-kali bersandar kepada alasan dariku
karena sesungguhnya aku pun mengandalkan pengajaran darimu. Lakukan yang
terbaik buat mereka niscaya aku pun akan melakukan yang terbaik buatmu,
Insya Allah.”
Imam Mawardi menegaskan urgensi memilih guru yang baik dengan
mengatakan, “Memang wajib bersungguh-sungguh di dalam memilihkan guru
dan pendidik bagi anak seperti kesungguhan di dalam memilihkan ibu dan
ibu susuan baginya, bahkan lebih dari itu. Seorang anak akan mengambil
akhlak, gerak-gerik, adab dan kebiasaan dari gurunya melebihi yang
diambil dari orang tuanya sendiri. Sebab, waktu bergaul dengan gurunya
lebih banyak dan waktu belajarnya dengan guru juga lebih lama. Anak akan
selalu meneladani gurunya dan juga tunduk kepadanya. Dengan demikian,
maka seorang guru dan pendidik tidak hanya terbatas pintar mengenai
Al-Qur’an, ahli tentang bahasa dan pandai dalam menampilkan syair; akan
tetapi ia haruslah seorang yang bertakwa, menjauhi dosa-dosa, menjaga
kesucian dan kehormatan, mempunyai akhlak yang utama, bersih kantongnya,
mengetahui betul tentang akhlak para raja dan adab-adab mereka, serta
paham mengenai pokok-pokok agama dan fikih. Idealnya seorang guru itu
mempunyai seluruh yang kami sebutkan di atas. Jika tidak, maka minimal
ia adalah seorang yang bertakwa serta pandai tentang ilmu agama dan
fikih.”
*Muhammadi Suwaid, dari bukunya Mendidik Anak Bersama Nabi Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam.
*Muhammadi Suwaid, dari bukunya Mendidik Anak Bersama Nabi Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam.
0 komentar:
Posting Komentar